Biogas, Penyelamat Krisis BBM di Pulau-Pulau Kecil
Oleh : Alex Retraubun
Krisis bahan bakar minyak (BBM) paling tidak memicu 3 hal; harga BBM menjadi mahal, terjadi kelangkaan, dan bagi masyarakat akar rumput akan terdorong mencari alternatif lain dengan memakai kayu bakar. Faktor terakhir tentu akan berdampak terhadap kerusakan hutan luar biasa karena penduduk kelompok ini jumlahnya besar.
Dampak besar akan dialami masyarakat di pulau-pulau kecil yang bertebaran di seantero wilayah NKRI. Kenapa? Masyarakat ini tinggal di wilayah yang terisolir dari pusat pertumbuhan ekonomi seperti ibu kota kecamatan, kabupaten/kota sampai provinsi sehingga spekulasi harga minyak terjadi tanpa pengawasan.
Apalagi di wilayah ini tidak ada sama sekali unit-unit pelayanan BBM resmi. Sehingga harga minyak bisa lebih mahal 4 sampai 5 kali harga resmi pemerintah. Di Kecamatan Nanusa (wilayah perbatasan) Sulawesi Utara, sekarang harga minyak tanah mencapai Rp 9.000 per liter.
Gejolak instabilitas harga BBM tidak menentu tergantung situasi ekonomi dunia. Oleh karena itu harus diantisipasi melalui kebijakan jangka panjang sebagai upaya preventif. Tujuannya, mengurangi beban pemerintah dan masyarakat dengan memanfaatkan potensi sumber daya energi di pulau.
Populasi ternak seperti sapi, kerbau dan babi merupakan salah satu potensi dimaksud. Sebab, kotoran ternak tersebut dapat dipakai sebagai energi alternatif biogas. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi anaerob.
Menurut Muthupandi (2007) komponen biogas ini terdiri dari 60 % CH4 (metana), 38 % CO2 (karbon dioksida), dan 2 % N2, O2, H2, dan H2S. Biogas dapat dibakar seperti elpiji dan menjadi sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan.
Untuk memproduksi energi biogas diperlukan sejumlah peralatan atau bahan sederhana sebagai Reaktor Biogaz®Plastik seperti drum pengumpan (1 unit), reaktor (1 unit, volume 4.000 liter), penampung biogas (1 unit, volume 2.000 liter), pengaman gas (1 unit), instalasi (10 meter), dan kompor biogas (1 unit).
Satu unit reaktor membutuhkan bahan baku kotoran sapi sekitar 30 kg per hari. Kebutuhan ini diproduksi oleh 2 -3 ekor sapi per hari yang dapat menghasilkan biogas sekitar 4 m³ per hari. Jumlah ini setara dengan 2,5 liter minyak tanah per hari dengan waktu fermentasi sekitar 12 jam. Hasil samping biogas adalah pupuk sekitar 20 kg per hari.
Menurut Muthupandi (2007), setiap kandungan 1 m³ biogas setara dengan 0,46 kg elpiji, 62 liter minyak tanah, 0,52 liter solar, 0,80 liter bensin, atau 3,50 kg kayu bakar. Keuntungan lain Biogaz®Plastik ini adalah dapat bertahan selama 8 tahun dan lebih murah dari alat biogas konventional lainnya di samping mudah dan operasinya sederhana.
Contoh Kasus di Pulau Sapudi
Pada tahun 2007, Direktorat Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Departemen Kelautan dan Perikanan telah memasang 800 unit reaktor biogas untuk 800 kepala keluarga (KK) di Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep. Perinciannya, 400 unit di Kecamatan Gayam dan 400 unit lainnya di Kecamatan Nonggunong yang tersebar di 17 desa.
Mata pencaharian utama masyarakat adalah nelayan dan peternak sapi. Di wilayah ini terdapat sekitar 51.000 ekor sapi yang tersebar di tiga pulau kecil dan 28 desa.
Rinciannya Pulau Sapudi dengan 18 desa tersebar sekitar 32.000 ekor. Lalu Pulau Giliyang (7.220 ekor di 2 desa), dan Pulau Tlango (10.847 ekor di 8 desa). Di pulau-pulau ini, rata-rata terdapat hampir 2.000 ekor sapi per desa. Untuk mencapai lokasi tersebut dapat menggunakan speedboat dari Pelabuhan Kalianget selama 3 jam perjalanan.
Karena tingginya populasi sapi, limbah kotorannya mencemari udara (bau tak sedap). Di samping itu, gas metana yang dihasilkan cukup banyak sehingga merusak unsur hara tanah.
Membawa Banyak Manfaat
Rekator biogas terbukti membawa banyak keuntungan mulai dari ekonomi, lingkungan, hingga ketahanan sosial. Hal itu ditunjukkan oleh 800 unit reaktor biogas di Pulau Sapudi tadi.
Berdasarkan data yang dihimpun tahun 2007, pemakaian minyak tanah di setiap KK per tahun sebanyak 730 liter. Total pengeluarannya sekitar Rp 2.190.000. Harga minyak tanah di Pulau Sapudi Rp 3.000/liter.
Sementara itu, keuntungan dari pupuk yang dihasilkan reaktor biogas rata-rata 5.400 kg/tahun. Dengan demikian, pendapatan dari penjualan pupuk sebesar Rp 4.050.000 per tahun (Rp 750/kg).
Jika nilai investasi per unit reaktor sebesar Rp 4.790.000 maka penghematan belanja minyak tanah per hari (2 liter x Rp 3.000) = Rp 6.000 atau sekitar Rp 180.000 per bulan. Dengan demikian, dalam waktu 26 bulan nilai investasi dapat kembali atau break event point (BEP).
Demikian halnya keuntungan yang diperoleh oleh pengguna 1 unit biogas selama 8 tahun masa pakai selama 72 bulan (8 x 12 x 0,75). Jika diasumsikan terjadi loss (kehilangan) sebanyak 25 persen (time correction factor = 0,75) maka keuntungan yang diperoleh sebanyak Rp 8.280.000.
Sementara itu, manfaat bagi pemerintah, atas dasar data tahun 2007 didapatkan harga jual minyak tanah tanpa subsidi sebesar Rp 5.665 per liter. Seperti diketahui, harga minyak tanah bersubsidi Rp 3.000 per liter. Sehingga selisih harga Rp 2.665 per liter.
Dengan demikian, setiap keluarga pengguna alat biogas telah meringankan beban pemerintah sebesar Rp 2 juta per tahun dengan mengalikan selisih harga dengan konsumsi minyak per KK per tahun. Maka nilai untuk 800 KK sekitar Rp 2 miliar per tahun. Selama 8 tahun pemakaian maka diperoleh beban keringanan sebesar Rp 16 miliar.
Dari sisi lingkungan, rerata kebutuhan 800 KK terhadap kayu bakar (bakau) per tahun sebanyak 4.320 ton. Maka pemakaian reaktor biogas akan menggantikan pemakaian kayu bakar selama 8 tahun sebesar 35 ton.
Itu berarti sejumlah areal hutan telah diselamatkan selama kurun waktu tersebut. Di tahun ini akan dilakukan instalasi pada 300 KK di Pulau Nusa Penida, Bali yang tentu akan semakin memperbesar keringan bagi pemerintah dan masyarakat. Jika pengembangan energi alternatif ini dinasionalkan kebijakannya maka nilai manfaat akan lebih masif.
Penulis adalah Peserta Kursus Lemhannas Angkatan 42 dan Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Oleh : Alex Retraubun
Krisis bahan bakar minyak (BBM) paling tidak memicu 3 hal; harga BBM menjadi mahal, terjadi kelangkaan, dan bagi masyarakat akar rumput akan terdorong mencari alternatif lain dengan memakai kayu bakar. Faktor terakhir tentu akan berdampak terhadap kerusakan hutan luar biasa karena penduduk kelompok ini jumlahnya besar.
Dampak besar akan dialami masyarakat di pulau-pulau kecil yang bertebaran di seantero wilayah NKRI. Kenapa? Masyarakat ini tinggal di wilayah yang terisolir dari pusat pertumbuhan ekonomi seperti ibu kota kecamatan, kabupaten/kota sampai provinsi sehingga spekulasi harga minyak terjadi tanpa pengawasan.
Apalagi di wilayah ini tidak ada sama sekali unit-unit pelayanan BBM resmi. Sehingga harga minyak bisa lebih mahal 4 sampai 5 kali harga resmi pemerintah. Di Kecamatan Nanusa (wilayah perbatasan) Sulawesi Utara, sekarang harga minyak tanah mencapai Rp 9.000 per liter.
Gejolak instabilitas harga BBM tidak menentu tergantung situasi ekonomi dunia. Oleh karena itu harus diantisipasi melalui kebijakan jangka panjang sebagai upaya preventif. Tujuannya, mengurangi beban pemerintah dan masyarakat dengan memanfaatkan potensi sumber daya energi di pulau.
Populasi ternak seperti sapi, kerbau dan babi merupakan salah satu potensi dimaksud. Sebab, kotoran ternak tersebut dapat dipakai sebagai energi alternatif biogas. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi anaerob.
Menurut Muthupandi (2007) komponen biogas ini terdiri dari 60 % CH4 (metana), 38 % CO2 (karbon dioksida), dan 2 % N2, O2, H2, dan H2S. Biogas dapat dibakar seperti elpiji dan menjadi sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan.
Untuk memproduksi energi biogas diperlukan sejumlah peralatan atau bahan sederhana sebagai Reaktor Biogaz®Plastik seperti drum pengumpan (1 unit), reaktor (1 unit, volume 4.000 liter), penampung biogas (1 unit, volume 2.000 liter), pengaman gas (1 unit), instalasi (10 meter), dan kompor biogas (1 unit).
Satu unit reaktor membutuhkan bahan baku kotoran sapi sekitar 30 kg per hari. Kebutuhan ini diproduksi oleh 2 -3 ekor sapi per hari yang dapat menghasilkan biogas sekitar 4 m³ per hari. Jumlah ini setara dengan 2,5 liter minyak tanah per hari dengan waktu fermentasi sekitar 12 jam. Hasil samping biogas adalah pupuk sekitar 20 kg per hari.
Menurut Muthupandi (2007), setiap kandungan 1 m³ biogas setara dengan 0,46 kg elpiji, 62 liter minyak tanah, 0,52 liter solar, 0,80 liter bensin, atau 3,50 kg kayu bakar. Keuntungan lain Biogaz®Plastik ini adalah dapat bertahan selama 8 tahun dan lebih murah dari alat biogas konventional lainnya di samping mudah dan operasinya sederhana.
Contoh Kasus di Pulau Sapudi
Pada tahun 2007, Direktorat Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Departemen Kelautan dan Perikanan telah memasang 800 unit reaktor biogas untuk 800 kepala keluarga (KK) di Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep. Perinciannya, 400 unit di Kecamatan Gayam dan 400 unit lainnya di Kecamatan Nonggunong yang tersebar di 17 desa.
Mata pencaharian utama masyarakat adalah nelayan dan peternak sapi. Di wilayah ini terdapat sekitar 51.000 ekor sapi yang tersebar di tiga pulau kecil dan 28 desa.
Rinciannya Pulau Sapudi dengan 18 desa tersebar sekitar 32.000 ekor. Lalu Pulau Giliyang (7.220 ekor di 2 desa), dan Pulau Tlango (10.847 ekor di 8 desa). Di pulau-pulau ini, rata-rata terdapat hampir 2.000 ekor sapi per desa. Untuk mencapai lokasi tersebut dapat menggunakan speedboat dari Pelabuhan Kalianget selama 3 jam perjalanan.
Karena tingginya populasi sapi, limbah kotorannya mencemari udara (bau tak sedap). Di samping itu, gas metana yang dihasilkan cukup banyak sehingga merusak unsur hara tanah.
Membawa Banyak Manfaat
Rekator biogas terbukti membawa banyak keuntungan mulai dari ekonomi, lingkungan, hingga ketahanan sosial. Hal itu ditunjukkan oleh 800 unit reaktor biogas di Pulau Sapudi tadi.
Berdasarkan data yang dihimpun tahun 2007, pemakaian minyak tanah di setiap KK per tahun sebanyak 730 liter. Total pengeluarannya sekitar Rp 2.190.000. Harga minyak tanah di Pulau Sapudi Rp 3.000/liter.
Sementara itu, keuntungan dari pupuk yang dihasilkan reaktor biogas rata-rata 5.400 kg/tahun. Dengan demikian, pendapatan dari penjualan pupuk sebesar Rp 4.050.000 per tahun (Rp 750/kg).
Jika nilai investasi per unit reaktor sebesar Rp 4.790.000 maka penghematan belanja minyak tanah per hari (2 liter x Rp 3.000) = Rp 6.000 atau sekitar Rp 180.000 per bulan. Dengan demikian, dalam waktu 26 bulan nilai investasi dapat kembali atau break event point (BEP).
Demikian halnya keuntungan yang diperoleh oleh pengguna 1 unit biogas selama 8 tahun masa pakai selama 72 bulan (8 x 12 x 0,75). Jika diasumsikan terjadi loss (kehilangan) sebanyak 25 persen (time correction factor = 0,75) maka keuntungan yang diperoleh sebanyak Rp 8.280.000.
Sementara itu, manfaat bagi pemerintah, atas dasar data tahun 2007 didapatkan harga jual minyak tanah tanpa subsidi sebesar Rp 5.665 per liter. Seperti diketahui, harga minyak tanah bersubsidi Rp 3.000 per liter. Sehingga selisih harga Rp 2.665 per liter.
Dengan demikian, setiap keluarga pengguna alat biogas telah meringankan beban pemerintah sebesar Rp 2 juta per tahun dengan mengalikan selisih harga dengan konsumsi minyak per KK per tahun. Maka nilai untuk 800 KK sekitar Rp 2 miliar per tahun. Selama 8 tahun pemakaian maka diperoleh beban keringanan sebesar Rp 16 miliar.
Dari sisi lingkungan, rerata kebutuhan 800 KK terhadap kayu bakar (bakau) per tahun sebanyak 4.320 ton. Maka pemakaian reaktor biogas akan menggantikan pemakaian kayu bakar selama 8 tahun sebesar 35 ton.
Itu berarti sejumlah areal hutan telah diselamatkan selama kurun waktu tersebut. Di tahun ini akan dilakukan instalasi pada 300 KK di Pulau Nusa Penida, Bali yang tentu akan semakin memperbesar keringan bagi pemerintah dan masyarakat. Jika pengembangan energi alternatif ini dinasionalkan kebijakannya maka nilai manfaat akan lebih masif.
Penulis adalah Peserta Kursus Lemhannas Angkatan 42 dan Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan.