Oleh : Rokhmin Dahuri
Pada tulisan sebelumnya, potensi ikan tuna baik pada tataran wilayah perairan laut dunia maupun di Indonesia telah diuraikan secara singkat. Pada edisi ini, aspek produksi dari perikanan tuna di Indonesia menjadi topik bahasan utama.
Sebelum 1950, kegiatan penangkapan ikan tuna di perairan laut Indonesia dilakukan secara tradisional dengan menggunakan jenis alat tangkap seperti handline (pancing ulur), drift gillnet (jaring insang hanyut), beach seine (payang), dan troll line (pancing tonda). Perahu (kapal) ikan yang digunakan pun berukuran kecil (rata-rata di bawah 15 GT), tidak bermesin atau hanya dengan menggunakan mesin tempel (outboard engine). Sehingga, saat itu operasi perikanan tuna terbatas di sekitar wilayah perairan pantai atau teritorial.
Pemanfaatan sumber daya ikan tuna dengan teknologi modern (canggih) baru dimulai sejak 1954 oleh Pusat Djawatan Perikanan Laut dengan satu kapal. Kemudian, dikembangkan menjadi dua kapal rawai tuna (KM Minajaya I dan KM Minajaya II) oleh BPU Perikani pada 1962. Kedua kapal rawai tuna tersebut diimpor secara kredit dari California, Amerika Serikat.
Perikanan tuna mulai terkenal di Indonesia sejak awal 1970-an. Yakni ketika Jepang mempromosikan teknologi penangkapan dengan tuna longline (rawai tuna), yang jauh lebih efisien ketimbang teknologi penangkapan tradisional. Dengan rawai tuna dan teknologi canggih lainnya seperti purse seine (pukat cincin) dan huhate (pole and line), perikanan tuna Indonesia menjadi semakin efisien, menangkap tuna dalam jumlah (volume) yang jauh lebih besar, dan lebih menguntungkan daripada kegiatan penangkapan ikan lainnya. Inilah yang membuat perikanan tuna kian populer di Indonesia.
Selanjutnya, sebagai rintisan (pioneer) pengembangan usaha perikanan tuna, pada 1972 Pemerintah RI mendirikan PT. Perikanan Samodra Besar yang berpangkalan di Benoa (Bali) dan Sabang (Aceh). Misi utamanya memanfaatkan sumber daya ikan tuna secara menguntungkan dan lestari (sustainable).
Pada 1973, untuk penangkapan ikan cakalang didirikan PT. Usaha Mina yang berpangkalan di Sorong (Irian Jaya), PN. Perikani Aer Tembaga di Bitung (Sulut), dan Perum Perikanan Maluku di Ambon. Keempat perusahaan perikanan milik negera tersebut berfungsi sebagai agen pembangunan (agent of development) untuk turut melaksanakan dan menunjang program pembangunan ekonomi nasional pada umumnya, dan industri perikanan tuna pada khususnya.
Kemudian, mulai 1974 bermunculan perusahaan-perusahaan perikanan tuna milik swasta nasional sehingga membuat perikanan tuna berkembang dengan pesat di wilayah Nusantara. Seiring dengan diberlakukannya ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) pada 1982, usaha perikanan tuna pun berkembang semakin pesat melalui kerja sama antara perusahaan perikanan nasional dan perusahaan perikanan asing dalam pemanfaatan sumber daya ikan tuna di perairan ZEEI. Kerja sama dengan perusahaan perikanan asing tersebut dilakukan melalui mekanisme carteran dan pemberian ijin (licensing).
Meningkat Tajam
Perkembangan jumlah armada perikanan tuna Indonesia meningkat secara tajam sejak 1990 seiring dengan membesarnya permintaan pasar ekspor maupun dalam negeri. Pada 2002, sedikitnya 2013 unit kapal rawai tuna beroperasi di perairan laut Indonesia diikuti oleh 279 unit kapal huhate dan 1.474 unit kapal pukat cincin.
Meskipun belum ada data produksi ikan tuna yang berasal dari alat-alat tangkap tardisional, seperti pancing ulur, pancing tonda, dan jaring insang hanyut, produksi dari perikanan tuna rakyat (tradisional) diperkirakan cukup besar juga. Produksi ikan tuna Indonesia meningkat rata-rata 11% per tahun, dari 202.834 ton pada 1990 menjadi 445.560 ton pada 2001 (lihat Tabel 1).
Kalau pada 1991 Indonesia merupakan produsen ikan tuna terbesar keenam di dunia, pada 2001 menjadi produsen terbesar kedua, hanya kalah dari Jepang (Tabel 2).
Secara garis besar, penangkapan ikan tuna dilakukan dengan menggunakan pancing yang diberi umpan (rawai tuna, pancing ulur, dan pancing tonda) serta jaring (pukat cincin, paying, dan jaring insang hanyut). Ukuran ikan tuna yang tertangkap dengan pancing sangat bervariasi, dari yang kecil sampai sangat besar (lebih dari 60 kg/ekor). Sementara itu, ikan tuna yang tertangkap dengan jaring umumnya berukuran kecil (kurang dari 20 kg/ekor), yang dalam bahasa perdagangannya lazim disebut baby tuna.
Agar usaha perikanan tuna bisa efisien dan menguntungkan secara berkelanjutan, perlu diketahui informasi tentang potensi lestari stok ikan tuna, daerah penangkapan (fishing grounds), dan kapan ikan tuna itu berada di daerah penangkapan (musim ikan). Ketiga jenis informasi utama yang sangat diperlukan bagi manajemen perikanan tuna secara berkelanjutan itu terkait dengan sifat-sifat biologis ikan tuna, keberadaan bahan makanan ikan tuna, dan kondisi lingkungan perairan laut.
Kendati kondisi lingkungan (faktor-faktor fisika dan kimia) perairan berpengaruh terhadap pergerakan (migrasi) ikan tuna, namun pergerakan ikan tuna dewasa lebih disebabkan oleh naluri (instinct)-nya dalam mendapatkan (mengejar) makanan. Oleh sebab itu, gerombolan ikan tuna dalam jumlah massif (tuna scooling) biasanya di daerah-daerah perairan laut yang subur dan produktif, seperti upwelling (pembalikan massa air dingin dari dasar ke permukaan laut), daerah pertemuan antara dua massa air (front areas) seperti arus dingin dan panas, dan daerah termoklin (kolom air yang memisahkan kolom air permukaan laut dari kolom air dasar laut).
Sedangkan bagi ikan-ikan tuna kecil (stadia larva dan juvenile), pergerakannya lebih banyak ditentukan oleh arus laut. Ikan tuna berumur muda lebih menyenangi hidup di daerah-daerah perairan laut yang berkadar garam (salinitas) relatif rendah, seperti perairan dangkal di sekitar pantai.
Berkembang Optimal
Tiga faktor lingkungan perairan laut yang mempengaruhi kehidupan ikan tuna adalah suhu, salinitas, dan kandungan oksigen (dissolved oxygen). Secara umum, ikan tuna dapat tumbuh dan berkembang biak secara optimal pada perairan laut dengan kisaran suhu 20 0C – 30 0C.
Sebagai perairan laut tropis yang mendapatkan curahan sinar matahari sepanjang tahun, massa air permukaan laut Indonesia memiliki suhu rata-rata tahunan 27 0C – 28 0C, dengan fluktuasi relatif kecil. Artinya, ikan tuna bisa berada di perairan laut Indonesia sepanjang tahun. Bahkan ditenggarai, perairan laut Indonesia menjadi salah satu tujuan migrasi utama gerombolan ikan tuna, baik yang berasal dari belahan bumi selatan (Samudra Hindia) maupun dari belahan bumi utara (Samudra Pasifik).
Secara lebih spesifik, jenis ikan tuna madidihang (yellowfin tuna) lebih menyukai hidup di sekitar lapisan termoklin dengan kisaran suhu perairan antara 18 0C – 31 0C. Pada umumnya, daerah ini terletak di sekitar permukaan laut sampai kedalaman 100 m. Namun, daerah penangkapan madidihang masih cukup baik di perairan dengan suhu sampai 14 0C.
Sementara itu, ikan tuna mata besar lebih senang berada pada perairan laut dengan kisaran suhu 17 0C – 22 0C, dan distribusi vertikalnya sangat dipengaruhi oleh posisi termoklin. Jenis tuna albakora hidup optimal pada perairan laut dengan kisaran suhu antara 15 0C – 19,4 0C. Namun, di Lautan Pasifik Utara masih dijumpai tuna albakora hidup pada kisaran suhu 13,5 0C – 22,2 0C (Saito, 1973). Ikan tuna sirip biru selatan bisa hidup optimal di perairan laut dengan kisaran suhu 5 0C – 20 0C. Dan, ikan cakalang dapat hidup di perairan dengan kisaran suhu 16 0C – 30 0C, tetapi suhu yang optimal adalah 19 0C – 23 0C.
Sejauh ini belum banyak hasil penelitian yang mengungkapkan tentang pengaruh langsung salinitas terhadap distribusi (kehidupan) ikan tuna. Namun, Soegiarto (1981) menemukan bahwa hasil penangkapan ikan calakang yang paling baik di perairan Selat Sunda pada salinitas 32,5 promil dan pada suhu 29 0C; dan cakalang sulit dijumpai pada salinitas yang menurun sampai 31 promil.
Kandungan oksigen terlarut dalam perairan laut mempengaruhi fisiologi ikan tuna. Kisaran kandungan oksigen yang optimal bagi yellowfin tuna adalah 1,5 – 2,5 ppm (mg/liter); untuk bigeye 0,5 – 1,0 ppm; untuk albakora 1,7 – 1,9 ppm; dan untuk cakalang 2,5 – 3,0 ppm.
Ikan tuna ekor kuning memiliki gelembung renang yang tumbuh mengikuti umurnya. Hal ini memungkinkan untuk mengurangi kecepatan renangnya sehingga oksigen yang dibutuhkan pun relatif sedikit. Sementara itu, ikan cakalang harus berenang cepat supaya tetap berada pada kedalaman tertentu sehingga memerlukan oksigen yang lebih banyak.
Di bawah kisaran optimal tersebut, merupakan daerah perairan kritis bagi kehidupan ikan tuna. Sehingga mereka menghindari daerah-daerah perairan dengan kandungan oksigen lebih rendah daripada kisaran optimalnya. Lapisan kritis biasanya terdapat pada kedalaman tertentu, dan bila letak palisan tersebut tidak terlampau dalam, maka ikan tuna lebih mudah ditangkap dengan alat tangkap permukaan.
Berdasarkan pada sifat-sifat biologis ikan tuna dan faktor-faktor lingkungan perairan yang mempengaruhinya, sangat logis bila daerah penangkapan utama ikan tuna terdapat di daerah-daerah perairan laut dalam dan jernih, seperti di perairan Pantai Barat Sumatera, selatan Jawa, selatan NTB dan NTT, ZEEI Samudra Hindia, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda, Utara Papua, ZEEI Samudra Pasifik, dan juga di sekitar pulau-pulau kecil.
Adapun lokasi pendaratan ikan tuna utama (major tuna landing sites) terdapat di Sabang (NAD), Bungus (Sumbar), Muara Baru (Jakarta), Cilacap (Jateng), Benoa (Bali), Bitung (Sulut), Sorong dan Biak (Papua). Dewasa ini beberapa daerah lain yang memiliki armada perikanan tuna adalah Sibolga (Sumut), Bengkulu, Pelabuhan Ratu (Jabar), NTB, NTT, Kendari dan Buton (Sultra), Makassar, Gorontalo, Maluku Utara, dan Maluku.
Akan halnya musim ikan tuna (peak seasons) di wilayah perairan laut Indonesia secara umum disajikan pada Tabel 3. Laut Banda, yang kedalaman perairannya mencapai 10.000 m (terdalam kedua di dunia, setelah Palung Mariana di Filipina) merupakan daerah penangkapan ikan tuna utama di Kawasan Timur Indonesia, terutama untuk jenis ikan tuna mata besar (bigeye tuna).
Akibatnya, banyak kapal rawai tuna Jepang, Taiwan, dan akhir-akhir ini dari China menangkap tuna di daerah Laut Banda, yang acap kali secara ilegal. Untuk informasi lebih rinci tentang musim ikan tuna di berbagai daerah di Indonesia, para pembaca yang budiman dapat memperolehnya dari Buku Musim Penangkapan Ikan di Indonesia (BRKP-DKP, 2004).
Tuntutan Pasar
Tuntutan pasar, terutama dari Jepang, terhadap kualitas tuna yang terus meningkat dan perkembangan teknologi penangkapan, membuat teknologi penangkapan tuna terus mengalami peningkatan dan semakin canggih. Kalau pada era 1970-an, ukuran kapal rawai tuna rata-rata sekitar 100 – 150 GT dan beroperasi sekitar 30 – 40 hari per trip, sejak medio 1980-an rata-rata ukuran kapal antara 300 – 500 GT dengan lama operasi mencapai 90 hari setiap tripnya.
Lebih dari itu, kalau dulu kapal ikan tuna dilengkapi dengan kamar pendingin -45 0C, sekarang lebih dingin lagi sampai -70 0C. Ini dalam rangka untuk memenuhi persyaratan kualitas tuna untuk sahimi yang semakin meningkat. Bahkan operasi penangkapan ikan tuna dewasa ini dibantu dengan pesawat dan peralatan canggih lainnya untuk menentukan lokasi gerombolan ikan tuna.
Walhasil, usaha penangkapan ikan tuna semakin efisien. Hal ini menyebabkan kondisi tangkap jenuh, bahkan overfishing yang sejak dekade terakhir mengancam kelestarian sebagian besar stok ikan tuna di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, upaya untuk mengendalikan (mengurangi) intensitas penangkapan terhadap stok ikan tuna tengah dilakukan oleh bangsa-bangsa penangkap tuna dunia. Selain itu, upaya untuk membudidayakan ikan tuna juga sudah mulai dikembangkan di beberapa negara.
Negara-negara perintis dan telah berhasil mengembangkan usaha budidaya tuna adalah Kanada, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Spanyol, Italia, Malta, Cyprus, dan Portugis. Indonesia sendiri telah mulai upaya pembudidayaan tuna oleh DKP di Balai Besar Budidaya Laut di Gondol (Bali) yang dicanangkan oleh Presiden RI pada akhir 2003.
Bersambung....
|